Islam Dalam Pemahamanku

Saya senang membaca teori-teori keagamaan, mulai dari Islam, baik syariahnya maupun tasawufnya, sampai dengan teori-teori agama-agama lain, termasuk juga kebatinan, kejawen, dan kepercayaan. Kelima rukun Islam alhamdulillah telah saya laksanakan, dan saya juga mempelajari salah satu tarekat. Akan tetapi dalam tafakur, saya asik dengan cara berpikir saya sendiri, dan saat ini saya tertarik dengan ide tentang kesederhanaan Islam. Oleh karena itu, dengan nama Allah, dan dengan memohon maaf atas segala kesalahan, saya mencoba menuliskan pemahaman saya tentang Islam sebagai berikut:

Islam secara ringkas adalah terdiri dari 5 Rukun Islam dan 6 Rukun Iman:
  • Lima (5) rukun Islam adalah: mengucapkan Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat, dan Haji.
  • Enam (6) rukun iman adalah: iman kepada Allah, Para Nabi dan Rasul, Malaikat, Kitab Suci, Hari Kiamat, Qodo dan Qodar. 
Dari ke 6 rukun iman, yang unique adalah beriman kepada kerasulan Nabi Muhammad SAW dan Kitab Suci Al Qur'an yang menyertai kerasulan Beliau. Sedangkan keimanan yang lain bisa dikatakan sesuatu yang umum, dan sangat mungkin ditemukan di agama lain. Dan inti dari keimanan tentu saja adalah iman kepada Tuhan itu sendiri, dan keimanan kepada yang yang lain adalah sebagai konsekuensi dari keimanan kepada Tuhan itu sendiri.

Iman kepada Allah dan keunique-an iman kepada Rasulullah Muhammad SAW dirangkum dalam satu kalimat Syahadat. Sehingga saya simpulkan bahwa ke 6 rukun iman pada dasarnya telah tercakup di dalam rukun Islam yang ke-1.

Dari ke 5 rukun Islam, puasa-zakat-haji bersifat opsional, yaitu wajib dilaksanakan apabila mampu. Karena opsional, maka saya simpulkan bahwa ketiganya tidak bersifat prinsipal. Sehingga rukun Islam yang prinsipal adalah syahadat dan sholat. Syahadat wajib diucapkan sekali saja seumur hidup, tetapi diperbarui (diucapkan lagi) minimal 5 kali sehari di dalam sholat. Maka yang benar-benar prinsipal dan praktikal dari agama Islam adalah sholat. Oleh karena itu dikatakan bahwa sholat adalah tiang agama (Islam). Bila syahadat adalah kunci pembuka pintu Islam, maka sholat adalah hampir semua ruang dibalik pintu tersebut. Maka boleh dikatakan sia-sia semua amal ibadah seorang Islam apabila dia dengan sengaja meninggalkan sholatnya.

Selanjutnya adalah bahwa sholatpun boleh dilaksanakan dengan gerakan minimal apabila kondisi tidak memungkinkan, misalnya sedang sakit. Sehingga saya simpulkan bahwa gerakan sholat bersifat opsional, sekali lagi wajib dilaksanakan apabila mampu, tetapi tidak bersifat prinsipal. Sehingga yang benar-benar prinsipal adalah takbiratul ihram (sebagai perwujudan niat dan kunci pembuka sholat), membaca Al Fatihah, dan membaca syahadat di tahiyat akhir.

Sebelumnya saya ingin menekankan bahwa yang opsional dapat menggagalkan yang prinsipal apabila kondisinya tidak sesuai. Artinya adalah bahwa seseorang tidak sah ibadahnya, biarpun dia melaksanakan hal yang prinsipal, apabila dia tidak melaksanakan yang opsional padahal dia mampu. Karena melaksanakan hal yang opsional menunjukkan kesungguhannya terhadap hal yang prinsipal.

Mengulangi pembahasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa amalan utama di dalam Islam adalah: memperbarui syahadat minimal 5 kali sehari, dan membaca Al Fatihah minimal 17 kali sehari (17 raka'at). Kekurangan dalam kedua amalan di atas akan memberikan konsekuensi-konsekuensi tertentu yang akan terlihat jelas bagi orang yang dapat melihatnya.

Selain yang minimal di atas, maka mengulang-ulang syahadat dan Al Fatihah sebanyak-banyaknya adalah sangat dianjurkan. Dan tata cara mengucapkan syahadat dan Al Fatihah yang paling baik dan bermanfaat adalah di dalam sholat. Oleh karena itu, bagi umat Islam sangat dianjurkan untuk sholat 5 waktu dan ditambah dengan sholat sunnah lainnya sebanyak-banyaknya, terutama di malam hari.

Sebagai alternatif, pengucapan syahadat dapat dibagi dua, yaitu: mengucapkan kalimat tahlil yang beratnya melebihi berat seluruh alam semesta, dan mengucapkan salawat nabi yang bisa melancarkan segala urusan di dunia. Setelah mengucapkan berulang-ulang tahlil, salawat, dan Al Fatihah, maka memahami makna sebenarnya dari ketiga amalan tersebut adalah kewajiban utama bagi setiap muslim, karena dapat dikatakan bahwa ketiga hal itulah yang menjadi inti dari Islam.

Memahami Kalimat Tahlil
Kalimat tahlil "Laa ilaaha illallaah", tiada tuhan selain Allah, adalah inti yang paling utama dari ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda; “Jika kalimat la ilâha Illa Allâh ditimbang dengan langit dan bumi niscaya kalimat tahlîl itu akan jauh lebih berat timbangannya”. Dengan kata lain kalimat tahlil adalah lebih penting dari apapun juga.
Kalimat ini biarpun sederhana, tapi implikasinya jauh dari sederhana. Contoh: seseorang yang memahami tahlil tidak akan menuhankan harta, jabatan, kenikmatan duniawi, atau apapun juga selain Allah. Selalu berbuat kebaikan, dan menghindari keburukan/kejahatan. Hal ini jauh sekali tidak sesederhana yang bisa dibayangkan. Memahami tahlil adalah pekerjaan seumur hidup yang tidak ada habis-habisnya. Setiap orang memahami tahlil sesuai dengan maqomnya sendiri-sendiri, dan pemahaman itu akan berkembang sesuai dengan kenaikan maqomnya.
Sungguh, ilmu pengetahuan yang terbuka dari kalimat tahlil tidak akan ada habis-habisnya. Hal ini sulit diterangkan, dan harus dihayati oleh masing-masing umat Islam sendiri-sendiri. Mengucapkan kalimat tahlil adalah amalan yang paling utama, dan harus dilakukan sebanyak-banyaknya selama hidup sampai melepaskan nafas yang terakhir.

Memahami Shalawat Nabi
Shalawat berisi doa dan pujian terhadap Rasulullah. Banyak sekali manfaat yang didapat dari membaca shalawat. Tetapi yang saya bahas di sini adalah manfaat yang sama yang didapat dengan membaca kalimat syahadat (pengakuan terhadap kerasulan nabi), yaitu: mendekatkan hati, diri, jiwa kita dengan yang mulia Rasulullah. Dengan kedekatan tersebut maka insyaallah kita bisa lebih meneladani segala perbuatan beliau, karena memang itulah makna dari syahadat: mengakui kerasulan nabi berarti berikrar untuk mengikuti jejaknya.
Makhluk tidak ada yang sempurna, kalaupun ada yang mendekati sempurna maka itu adalah Rasulullah. Ini adalah keyakinan umat Islam. Oleh karena itu mengikuti sunnah rasul adalah panduan utama bagi umat Islam, dan inilah bentuk penghormatan yang tertinggi terhadap beliau (meneladani perbuatan beliau, bukan hanya mengucapkan pujian-pujian kosong). Dan tentu saja akhlak rasul yang harus diteladani adalah akhlak yang baik-baik seperti: pemaaf, rendah hati, baik hati dan seterusnya. Bukan yang buruk-buruk seperti: kasar, suka mencaci maki berbicara kotor, suka bertengkar dan seterusnya, karena itu bukanlah akhlak Rasulullah. Dan kita kalau mengaku umat Islam, maka wajib menghindari akhlak yang buruk tersebut, demi penghormatan kepada beliau.
Dan ini salah satu kisah yang menggambarkan akhlak beliau:
Di sudut pasar Madinah al-Munawarah, ada seorang pengemis Yahudi buta yang mangkal. Hari demi hari, apabila ada orang yang mendekatinya, ia selalu berkata, "Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya."
Sementara itu, tanpa disadarinya, setiap pagi Nabi Muhammad saw. mendatanginya dengan membawa makanan, lalu tanpa berkata sepatah kata, Beliau menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu, walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad.
Nabi Muhammad melakukan hal itu hingga menjelang Beliau wafat. Setelah Beliau wafat, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.
Suatu hari sahabat Abu Bakar ra. berkunjung kerumah istrinya Rasulullah, Aisyah ra. Beliau bertanya kepada istrinya Rasulullah,
Abu Bakar ra: Wahai Aisyah, adakah sunnah Rasulullah yang belum aku kerjakan?
Aisyah ra: Wahai Abu Bakar, engkau adalah seorang ahli sunnah. Hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum engkau lakukan kebuali satu sunnah saja.
Abu Bakar ra: Apakah itu?
Aisyah ra: Setiap pagi Rasulullah saw. selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana.
Keesokan harinya Abu Bakar pergi ke pasar untuk memberi makan seorang Yahudi buta yang sering diberi makan oleh Rasulullah saw. Ketika Abu Bakar menyuapkan makanan kepada seorang pengemis Yahudi buta itu, pengemis itu marah sambil berteriak,
Pengemis Yahudi Buta: Siapakah engkau?
Abu Bakar: Aku orang yang biasa datang memberimu makan.
Pengemis Yahudi Buta: Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku. Apabila ia datang kepadaku, tidak perlu tangan ini memegang dan tidak perlu mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terldbih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu baru ia suapkan padaku.
Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya. Ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu,
Abu Bakar: Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang mulia telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah saw.
Setelah pengemis itu mendengar cerita Abu Bakar, ia pun menangis sambil berkata,
Pengemis Yahudi Buta: Benarkah demikian? (kata pengemis tua itu terkejut). Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, namun ia tidak pernah memarahiku sedikit pun. Ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Sungguh, ia begitu mulia....(kata pengemis Yahudi buta itu sambil menangis tersedu-sedu).
Akhirnya, pengemis Yahudi itu bersyahadat di hadapan Abu Bakar. Ya, pengemis buta itu masuk Islam berkat kemuliaan ahlak Nabi Muhammad saw. yang luar biasa dan berkat kekuasaan Allah Swt
Terlepas dari benar tidaknya kisah di atas, moral pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa Rasulullah adalah orang yang pemaaf, bukan pendendam, lembut, baik hati, bukan pemarah dan seterusnya. Dan demikian pula akhlak para sahabat. Dan demikian jugalah seharusnya akhlak kita umat Islam. Menghina, mencaci maki, balas dendam, kasar bukanlah akhlak Rasul, dan tidak boleh menjadi akhlak umat Islam. Orang lain bisa saja mencaci maki memfitnah Rasulullah dan umat Islam, tetapi kita tidak boleh membalas dengan cara yang sama. Bersabar adalah sikap terbaik, dan seandainya harus membalas maka harus dengan cara baik yang bermarabat menunjukkan akhlak umat Islam yang luhur. Jika tidak, maka berarti kita sama rendahnya kelakuannya dengan mereka yang suka mencaci maki dan memfitnah tersebut. Dan semakin kasar caci maki menunjukkan semakin rendahnya derajat seseorang. Dan jelas Allah tidak akan menyukai orang yang berkelakuan dan bermulut kasar.
Contoh lain adalah larangan menggambarkan Rasul. Larangan ini adalah untuk menjaga akidah umat Islam, karena penggambaran beliau pasti tidak akan sama dengan yang sebenarnya. Dan karena pribadi Beliau begitu luhurnya, maka penggambaran itu akan mengurangi keagungan Beliau, yang selanjutnya bisa mengurangi keagungan ajaran Islam, dan akhirnya bisa mengurangi keimanan kita. Inilah menurut saya alasan kenapa gambar Rasul dilarang, yaitu demi kepentingan internal Islam sendiri. Oleh karena itu sebaiknya kita tidak bereaksi berlebihan jika orang lain menggambar beliau, cukup dengan protes yang bermartabat.
Hitam adalah hitam, putih adalah putih, yang haq tetap haq, yang batil tetap batil. Tidak akan sesuatu yang haq menjadi batil hanya karena orang mengatakannya batil. Oleh karena itu sebagai umat Islam, alangkah baiknya jika kita tidak menghabiskan waktu kita untuk membela diri dari caci maki dan tindakan provokatif pihak lain. Adalah jauh lebih bermanfaat jika kita gunakan waktu kita untuk memperbaiki diri sendiri, meningggikan derajat kita di sisi Allah. Bukankah itu yang Rasululloh inginkan dari kita sebagai umatnya?
Wallahu a'lam bish-showab

Membela Diri
Membela diri sendiri adalah wajib hukumnya, selama tidak berlebih-lebihan, karena berlebih-lebihan adalah dholim. Jaman sudah berubah, dalam beberapa hal, Islampun juga harus berubah, selama tidak menyangkut akidah agama. Berdebat membela ajaran atau nama baik agama, tidaklah terlalu penting lagi. Kenapa? karena seperti yang telah ditulis di atas, kebenaran Islam tidaklah akan menjadi salah, hanya karena orang lain menyalah-nyalahkan. Kenapa kita mesti takut atau resah? Ayat Quran tidaklah akan menjadi salah hanya karena Salman Rusdi mengatakannya sebagai ayat setan. Yang menganggapnya ayat setan adalah orang yang tidak tahu. Kerugian adalah bagi mereka bukan bagi kita. Nama baik Islam dan Rasulullah sering dilecehkan dan dijadikan permainan, apakah itu akan menjadikan nama baik Islam dan Rasul jelek? Saya rasa tidak. Hanya orang bodoh yang percaya omongan buruk tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Sekali lagi, kita boleh meng-counter atau membalasnya, tetapi tentu saja dengan cara-cara yang elegan, yang bermartabat, agar tidak mempermalukan Islam dan Rasul itu sendiri. Ingat pepatah "Anjing menggonggong, kafilah berlalu". Apakah kita akan menghabiskan waktu kita untuk hanya mengurusi si "anjing" tersebut. Kalau itu yang kita lakukan, maka alangkah sia-sianya hidup kita.
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syetan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu),”  (Al-An’aam: 68)
Ajaran Islam, isi Quran, dan sunnah Rasul adalah sedemikian luhurnya, sehingga kita tidak perlu repot-repot membelanya, ajaran itu sendiri yang akan membuktikan kebenaran dan keluhurannya. Sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa. Apabila Dia menghendaki sesuatu, maka tak ada yang dapat menghalangi, mustahil ada yang dapat menghalanginya. Andaikata Dia ingin memusnahkan musuh Islam, maka itu sama sekali bukan sesuatu yang sulit bagiNya. Dia tidak membutuhkan kita, karena mustahil Dia membutuhkan sesuatu dari makhlukNya, kitalah yang membutuhkan Dia. Maka bagi mereka yang mengerti, ada adab dan hikmah tertentu yang harus dipahami dibalik kewajiban membela diri. Apabila ada yang harus kita bela, itu adalah umat Islamnya. Apabila ada umat Islam teraniaya, maka kita wajib membelanya. Tapi itu lebih kepada pembelaan kepada kemanusiaan, karena siapapun yang teraniaya, tak peduli muslim atau tidak, wajib kita membelanya. Begitulah Rasulullah mengajari kita. Jangan repot membela diri, lebih baik repot memperbaiki diri. Janganlah sibuk membela diri, karena itu akan membuat kita lupa dan kehabisan waktu untuk memperbaiki diri. Kalau tidak benar-benar perlu, jauh lebih baik memperbaiki diri daripada membela diri.

Memahami Al Fatihah
Al Fatihah disebut sebagai ummul kitab, ibu dari Al Qur'an. Ibarat buku, maka Fatihah adalah kata pengantar, pendahuluan, rangkuman, dan kesimpulan dari Quran. Ibarat perjalanan, maka syahadat menunjukkan arah tujuan, sedangkan Fatihah membimbing cara berjalan menuju ke tujuan tersebut. Jika syahadat, tahlil, dan shalawat disebut sebagai hidayah pasif, dalam arti kalimat-kalimat tersebut kita amal ucapkan dan hidayah yang turun benar-benar menunggu pemberian dari Allah SWT. Maka Fatihah dapat dikatakan sebagai hidayah aktif, dimana kita bisa mengkaji terus menerus secara berkelanjutan makna yang tersimpan di dalam Fatihah, sepanjang hidup kita. Memahami Fatihah sangatlah penting karena Fatihah adalah panduan dalam mentafsirkan ayat-ayat Quran lainnya.
Apa yang saya tulis berikut ini sama sekali bukan seluruh arti makna Fatihah, melainkan hanya sebagian kecil dari yang sangat kecil. Makna yang saya tuliskan ini hanyalah sebagai langkah awal atau garis start saja. Arti makna yang sebenarnya dan selengkapnya dari Fatihah hanya Allah yang tahu. Maka inilah sedikit makna Fatihah yang saya ketahui:
Fatihah terdiri dari 7 ayat. Di kebudayaan Arab angka 7 bermakna "banyak", sehingga langit ke 7 dapat diartikan sebagai langit tertinggi (terbanyak). Dari 7 ayat, 4 ayat pertama berisi pujian dan nama-nama Allah. Dari 7 kali nama Allah disebutkan, 1 kali yang bersifat jalal, 6 kali bersifat jamal dengan nama ar-Rohman ar-Rohim disebut 2 kali. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Allah lebih bersifat jamal dibandingkan jalal, bahkan jalal yang disebut adalah al-Malik (Yang Agung atau Yang Mengadili), jalal ini adalah jalal yang lembut dibandingkan dengan al-Muzil (Yang Menghinakan). Maka Fatihah mengajarkan bahwa sifat  yang lembut (pengasih, penyayang, pemaaf, dst) harus jauh lebih didahulukan daripada sifat yang keras (pembalas, pengadil, dst). Maka demikianlah pulalah seharusnya sifat-sifat yang dimiliki oleh umat Islam.
Setelah 4 ayat pertama berisi puji-pujian, ayat ke-5 barulah ayat transisi yang menjelaskan adab dalam memohon dan berdoa. Tugas kita adalah beribadah, dan sesudah beribadah barulah kita pantas untuk memohon pertolongan, pertolongan dalam hal apapun. Sekali lagi beribadah dahulu, baru memohon pertolongan, dan jika pertolongan belum datang, bukan berarti tidak perlu beribadah lagi. Ini karena beribadah itu sendiri adalah sebuah nikmah yang diberikan oleh Allah. Kita harus selalu bersyukur kepadaNya apabila kita diberi kemampuan dan kemauan untuk beribadah, tidak peduli apakah doa kita dikabulkan atau tidak, karena tidak semua orang diberi nikmah beribadah. Beribadah adalah nikmah, ini bagi orang-orang yang memahami dan menghayatinya. Dan pertolongan Allah, juga doa-doa yang dikabulkan, itu hanyalah bonus belaka. Beribadah sendiri itu jauh lebih penting daripada berdoa dan memohon pertolongan. Dan adab seperti ini seharusnya diterapkan juga oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Bekerja dulu, baru minta upah. Berprestasi dulu, baru minta penghargaan. Dan adalah lebih baik jika bekerja didasari oleh niat yang ikhlas dan tulus. Bekerja untuk mencari nafkah yang halal bagi keluarga. Bekerja untuk memberi manfaat bagi orang lain. Bukan hanya sekedar cari uang atau pengakuan. Karena di dalam bekerja itu sendiri banyak tersimpan nikmat Tuhan yang harus disukuri. Diberi kemampuan bekerja itu adalah nikmah, karena tidak semua orang diberi kemampuan bekerja. Diberi pekerjaan itu adalah nikmah selanjutnya, karena tidak semua orang diberi pekerjaan. Diberi pekerjaan yang sesuai itu adalah nikmah yang lain lagi, karena tidak semua orang diberi pekerjaan yang sesuai dengan keinginan. Sedangkan gaji adalah hak. Gaji besar itu adalah bonus tambahan. Jadi bekerja itu sendiri adalah nikmah, tetapi banyak orang kurang bersukur, mereka selalu berkeluh kesah tentang apa saja. Dan yang lebih sesat lagi adalah orang yang sibuk perkara gaji bonusnya ketimbang prestasi kerjanya.
Kembali ke Fatihah, ayat ke-6 menunjukkan apa yang seharusnya kita minta pertolongan dari Allah, yaitu jalan yang lurus, bukan yang lain-lainnya. Mohonlah jalan yang lurus dulu, baru minta yang lainnya. Ayat ke-6 adalah doa yang wajib kita baca, bukan doa-doa lainnya, termasuk doa sapu jagat, apalagi doa minta harta kekayaan. Tentu saja semua doa boleh kita panjatkan kepada Allah, selama doa itu baik maka menjadi sunnah, akan tetapi hanya ayat ke-6 saja doa yang hukumnya wajib. Ini menunjukkan betapa penting doa meminta ditunjukkan jalan yang lurus ini. Bahwa jalan yang lurus bukanlah jalan yang mudah, melainkan jalan yang sulit, sampai diibaratkan seperti rambut dibelah tujuh. Bahwa kebanyakan orang jalannya tidak lurus atau mudah menjadi tidak lurus lagi, sehingga doa ini menjadi wajib.
Lalu apakah jalan yang lurus itu?
Pemahaman mengenai jalan yang lurus akan berkembang sesuai dengan bertambahnya umur, dan itu tak akan ada habis-habisnya. Dalam satu arti, jalan yang lurus dapat diartikan sebagai lurusnya antara batin, pikir, dan lahir. Seringkali antara ketiga hal itu tidaklah lurus, bahkan saling bertentangan. Lurus dapat diartikan sebagai terpancarnya cahaya kebaikan sejati yang berasal dari Nur Allah yang tersimpan di dalam hati nurani yang jauh berada di dalam hati yang jauh berada di dalam batin, dimana cahaya tersebut dapat keluar menerangi pikiran dengan jernih tanpa terkontaminasi kotoran apapun, sehingga kemudian cahaya tersebut teraktualisasi ke dalam perbuatan dan ucapan yang mencerminkan adanya kebaikan sejati tersebut. Setiap ada keinginan buruk, pikiran buruk, dan perbuatan/ucapan buruk, melambangkan adanya jalan yang tidak lurus. Manusia adalah tempatnya kesalahan dan lupa, dalam arti seperti tertulis di atas, manusia kebanyakan adalah tidak lurus, atau mudah menjadi tidak lurus lagi. Lurus dalam prakteknya adalah sulit luar biasa, sampai diperlambangkan bagaikan meniti rambut dibelah tujuh. Dengan kata lain, itu adalah hal yang mustahil, kecuali Allah menurunkan hidayahNya kepada kita. Sehingga dapat juga diartikan bahwa ayat ke-6 adalah ayat untuk memohon hidayah Allah.
Dalam beberapa hal, jalan yang lurus identik dengan jalan tengah, karena kebanyakan jalan yang lurus adalah jalan tengah, biarpun tidak semuanya begitu. Salah satu hadits tentang jalan tengah adalah: “Sebaik-baik urusan adalah pertengahannya” [al-Baihaqi, Syu’ab al- Imân: 6601]. Quran juga banyak menyebutkan keutamaan jalan tengah, antara lain: Surat al-Furqan(25):67, al- Isra(17):29 dan 110. Secara garis besar, jalan tengah berarti tidak berlebih-lebihan dan tidak kekurangan. Ibarat memakai sepatu, kebesaran atau kekecilan keduanya tidaklah baik. Arti lain bisa berarti adil, tidak menguntungkan atau memberatkan salah satu pihak. Dan banyak arti lain, yang secara insting kita pasti bisa merasakannya. Secara umum, jalan tengah adalah salah satu ciri dari jalan yang lurus, akan tetapi dalam beberapa hal terkadang jalan yang lurus belum tentu jalan tengah. Hal ini bisa menjadi perdebatan, tetapi sekali lagi, pemahaman jalan yang lurus akan berkembang sesuai dengan bertambahnya umur dan kebijaksanaan seseorang. Tidak perlu dibanding-bandingkan karena setiap mempunyai maqom yang berbeda. Suka membanding-bandingkan diri adalah sifat orang yang maqomnya rendah, karena dia mencari kepuasan dari perasaan lebih tinggi dari orang lain.
Selanjutnya Allah memberikan keterangan tentang jalan yang lurus yang lebih mudah dimengerti oleh kebanyakan orang, yaitu di ayat terakhir, ayat ke-7. Yaitu jalan yang lurus adalah jalan yang diberikan kepada orang-orang yang diberikan ni'mat Allah, jelas bukan jalan orang-orang yang dimurkai juga bukan jalan orang-orang yang sesat. Ada tiga golongan manusia yang disebut di ayat ke-7. Apabila diperhatikan lebih dalam maka sesungguhnya ketiga golongan itu bisa pula diartikan sebagai tiga sifat yang ada di dalam tiap-tiap diri manusia. Sifat mana yang paling dominan, sifat itulah yang akan membentuk manusia tersebut secara keseluruhan. Wallahu a’lam bish-shawab.

 Golongan Yang Masuk Surga
“Umatku akan terpecah menjadi 70 golongan dan hanya satu yang masuk surga” (Al Hadits)
Siapakah golongan yang masuk surga?
Siapa yang berhak menentukan masuk surga?
Siapa yang menjamin bahwa seseorang akan masuk surga?
Wallahu a'lam bish-showab
Hanya Allah yang tahu
Hanya Allah yang berhak menentukan
Hanya Allah yang bisa menjamin
Manusia tidak akan pernah tahu
Manusia tidak berhak menentukan
Manusia tidak akan bisa menjamin
Jika ada suatu golongan atau ajaran atau kiai/ustad/ulama/orang yang bisa menjamin, maka pasti itu adalah golongan/ajaran/orang yang sesat. Bahkan seorang mubaligh atau orang yang mati jihadpun belum tentu masuk surga, karena kita tidak tahu apakah ada riya' atau syirik di hatinya. Mereka hanya mempunyai kesempatan yang lebih besar dibandingkan orang biasa. Tetapi itu semua tidaklah menjamin, hanya Allah yang tahu.
Lalu golongan mana yang dijamin masuk surga?
Jelas golongan yang ditetapkan oleh Allah, dengan syarat dan kriteria yang ditetapkan oleh Allah.
Jelas bukan golongan yang dibuat oleh manusia, dengan syarat dan kriteria yang ditetapkan oleh manusia, apapun dalil yang diusungnya. Hanya Allah yang tahu.
Tugas kita hanyalah berusaha beribadah dengan sebaik-baiknya, seikhlas-ikhlasnya, dan tawakkal, berharap kita masuk golongan yang masuk surga. Sesungguhnya, bahkan orang sesuci Rabiah Al Adawiyahpun tidak berani berharap masuk ke surgaNya, apalah artinya kita.

Sampaikan Walau Satu Ayat
Hadist ini mendorong umat Islam untuk selalu berdakwah. Tetapi banyak orang yang lupa dalil lain dalam berdakwah yang berbunyi: "Katakan (nasehat) yang kamu sendiri lakukan. Jangan katakan (nasehat) yang kamu sendiri tidak lakukan". Hal ini penting untuk menghindari kemunafikan, juga agar lebih memahami topik permasalahan, dan untuk memberikan suatu contoh perbuatan. Karena contoh perbuatan adalah dakwah yang paling baik.
Sehingga kalau kedua dalil digabung akan menjadi: "Sampaikan apa yang benar-benar kamu pahami dan lakukan, walaupun hanya satu ayat". Jangan sampaikan sesuatu yang tidak dipahami dan dilakukan sendiri, kecuali kalau ditanya, dan itupun harus disertai sumber referensi dan permohonan maaf karena kurang pemahaman dan kalau ada yang salah dalam penyampaian.
Da'i sekarang banyak yang dijadikan profesi sumber penghasilan, bahkan tak kurang yang menjadi selebriti. Ini menyebabkan tekanan dan tuntutan untuk tampil tidak membosankan, sehingga selalu mencari bahan baru yang terkadang kurang dikuasai. Tersirat kesan, bahwa mereka lebih mengasah kepandaian bicara, dibandingkan mengasah kepekaan dalam menelaah kebenaran. Sering kali ungkapan mereka enak didengar, tetapi tidak tahan diuji kebenarannya.
Ini sangat berbeda dengan da'i jaman dahulu yang biasanya mempunyai spesialisasi di bidang tertentu. Hal ini karena memahami satu ayat dan benar-benar menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi jika itu dil`kukan, maka akan benar-benar barokah dan mendatangkan rahmah hidayah. Sedangkan mengucapkan sesuatu yang tidak dipahami, pasti akan mempermalukan diri sendiri bila dicoba Tuhan dan gagal. Apalagi jika sampai turun azab Allah. Na'udzubillah min dzalik.
Dan selain prinsip di atas, masih banyak lagi aturan-aturan dalam adab berdakwah yang harus diindahkan. Salah satunya adalah: sangat dilarang menjelek-jelekkan orang lain atau golongan lain, dan meninggi-ninggikan diri atau golongan sendiri, karena belum tentu yang ditinggikan lebih baik dari yang dijelekkan. Selain juga ini adalah perbuatan yang lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya, yaitu antara lain adalah menimbulkan sifat sombong.

Menjalankan Agama atau Memanfaatkan Agama?
Pada suatu pertempuran, Ali dapat menjatuhkan lawannya. Di saat Ali akan menebas leher lawan yang terjatuh itu, lawannya meludahi wajah Ali. Tak terkira kemarahan Ali. Tetapi, di saat itu pula Ali menarik pedangnya dan menyarungkannya kembali. Para sahabat kaget dan bertanya, " Wahai Ali kenapa engkau tidak jadi membunuh lawanmu?" Dengan tenang Ali menjawab, "Semula aku akan membunuhnya karena ingin mencari ridha Allah dan melaksanakan perintahNya, tetapi di saat dia sempat meludahi wajahku, aku sangat marah dan malu sekali. Aku khawatir jika aku teruskan membunuhnya, maka aku membunuhnya tidak lagi karena perintah Allah, tetapi karena kemarahan dan kebencian. Aku takut pekerjaanku tidak diterima di sisi Allah, karena itu aku tarik lagi pedangku dari lehernya."
Melaksanakan ajaran agama harus jauh dari hawa nafsu. Jika nafsu sudah terlibat, maka itu bukan lagi menjalankan ajaran agama, tetapi memanfaatkan agama untuk memuaskan hawa nafsu. Poligami misalnya, orang jika sudah ngebet mau kawin lagi, maka dia pasti pantang mundur, dia gunakan dalil-dalil agama untuk mendukung niatnya itu. Bahkan dia akan semakin ngotot menunjukkan bahwa yang dia lakukan adalah suatu kebenaran, adalah perintah Tuhan. Bukankah menjaga diri dari fitnah juga ajaran agama? Bukankah menjaga nama baik Islam juga ajaran agama? Mereka tidak peduli itu. Sekali ingin kawin lagi, maka itu harus terlaksana, apapun akibatnya. Itulah hawa nafsu. Jangan sekali-kali menggembar-gemborkan diri sendiri sebagai orang yang taat beribadah, sebelum benar-benar memahami apa itu hawa nafsu! Karena bisa jadi semua perbuatan baikmu hanyalah buah dari hawa nafsu itu. Jangan merasa dirimu aman, karena hawa nafsulah yang menjadi penyesat no. 1 manusia, dan karena itulah hawa nafsu adalah hal utama yang ingin dikendalikan oleh agama.

Gunung Yang Tinggi
Hidup itu bagaikan mendaki gunung yang sangat tinggi, begitu tingginya hingga tak terlihat puncaknya. Beberapa orang tersesat dan naik sampai ke puncak bukit-bukit di kaki gunung, dan mereka merasa sudah berada di puncak segala-galanya. Sesungguhnya mereka tak akan bisa naik lebih tinggi lagi. Beberapa dari mereka merasa puas dengan kondisi seperti itu, dan mereka tetap seperti itu sampai ajal menjemput. Beberapa dari mereka sadar bahwa telah tersesat, maka mereka harus menuruni bukit lagi, dan kembali ke jalur yang benar. Karena seperti gunung yang tak terlihat puncaknya, begitu pula ilmu Tuhan tak akan habis dipelajari seumur hidup manusia. Jadi jangan pernah merasa puas, apalagi menjadi sombong, engkau bukanlah apa-apa, tidak peduli apakah engkau seorang manusia biasa, ataukah seorang ustad yang sangat dihormati umatnya. Berhati-hatilah agar tidak jatuh atau tersesat, dan selalu perbanyak memohon pertolongan dan bimbinganNya.


.